Sifat Ketuhanan dalam Diri Buddha
Berdasarkan aliran Theravada, pernyataan dari Sang Buddha yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan konsep ketuhanan dalam agama Buddha terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:3, sebagai berikut:
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu." (Sutta Pitaka, Udana VIII: 3).
Perdebatan seputar keberadaan dan pengertian Tuhan telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama sekali bahkan perdebatan ini betul-betul telah menyita energi manusia. Sepanjang sejarah keberadaan manusia banyak peperangan yang menewaskan jutaan nyawa dikumandangkan hanya untuk membela Tuhannya. Alih-alih Tuhan muncul untuk melerai mereka yang memperdebatkan dirinya, hingga saat ini pun Tuhan tidak pernah muncul selain hanya diciptakan manusia dalam imajinasinya.
Sikap “diam” yang ditunjukkan oleh Buddha Gotama seputar pertanyaan yang diajukan oleh Malunkyaputta berkenaan dengan pertanyaan apakah dunia ini kekal atau tidak kekal, terbatas atau tidak terbatas, apakah jiwa sama dengan jasmani atau tidak, apakah tuhan ada atau tidak ada memberikan sebuah kebijaksanaan tersendiri. Beliau “diam” karena beliau tahu jika dijawab Malunkyaputta bukannya tercerahkan tapi malah akan semakin pusing.
Pertanyaan Malunkyaputta ini juga menghinggapi sebagian besar manusia hingga sekarang ini, sayangnya bukan pencerahan yang kita peroleh tapi spekulasi-spekulasi yang tak ada artinya bagi pencapaian kebahagiaan dan pencerahan manusia.
Sering kali label atheis diberikan kepada ajaran Buddha, karena Buddha menolak konsep Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kehidupan ini. Penilaian sepihak ini terjadi karena mereka memperbandingkan dan menganggap benar konsep Tuhan dalam kenyakinannya sendiri dan istilah gaulnya ‘sok tahu’.
Seringkali Tuhan dipersonifikasikan sebagai sosok pribadi atau makhluk seperti manusia yaitu makhluk adikuasa yang bisa marah, cemburu, iri, senang, dll. Tidak sedikit manusia yang dari lahir hingga dia mati hanya penderitaan yang dia alami, jika itu dikatakan sebagai cobaan, tidakkah Tuhan tahu keputusan apa yang akan diambil oleh manusia yang sedang Dia cobain. Lantas untuk apa tetap memberikan cobaan tersebut?! Kalau itu dikatakan takdir, mengapa memberikan takdir yang demikian?! Dan jika ada orang yang berbuat jahat jangan salahkan orang tersebut karena itu sudah menjadi takdirnya.
Kadang kala kita ditakut-takuti jika tidak percaya kita akan masuk neraka karena itu kita harus selalu menyembah dan memuji namanya agar masuk surga. Tidakkah itu terkesan Tuhan gila disembah dan dipuji dan sepertinya Tuhan takut disaingi karena itu Tuhan seringkali mengeluarkan ancaman-ancaman agar manusia patuh kepadanya.
Konsep Tuhan seperti inilah yang ditolak oleh Buddha. Lantas apakah ajaran Buddha tidak menyinggung sama sekali keberadaan Tuhan?
Dalam Kitab Tipitaka, bagian Sutta Pitaka, Udana VIII:3 Buddha mengatakan, “ Atthi, Bhikkave Ajatang Abhutang Akatang Asangkhatang …” yang artinya “O Bhikkhu, ADA yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak / yang tidak berkondisi …” Dengan adanya Yang Mutlak, Yang Tidak Berkondisi (Asankhata-Dhamma) maka semua makhluk yang berkondisi (sankhata) bisa terbebas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara merealisasi Nibbana (bahasa Pali) / Nirvana (bahasa Sanskerta). Karena Atthi (ADA) dijelaskan sebagai Asankhata-Dhamma maka ADA yang dimaksud bersifat anatta (tanpa aku) yang tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun.
Inilah Ketuhanan menurut ajaran Buddha, ADA tidak diterangkan lebih jauh oleh Buddha Gotama karena ADA tersebut SANGAT SEMPURNA, pikiran manusia yg masih terbelenggu oleh napsu duniawi tidak akan mampu untuk memahaminya. Satu-satunya Jalan untuk memahami ADA hanyalah dengan merealisasi NIBBANA/NIRVANA. Karena NIBBANA bersifat asankhata sehingga merupakan aspek yg tak terpisahkan dari Atthi (ADA). (---tunggu ulasan Nibbana dalam artikel tersendiri)
Selama 45 tahun dalam pengembaraannya mengajarkan Jalan yang beliau peroleh saat mencapai penerangan sempurna dibawah pohon bodhi di bulan Vesakha, Buddha selalu konsisten bahwa apa yang beliau ajarkan hanyalah Jalan untuk merealisasi Nibbana dan Nibbana bisa dicapai dalam kehidupan saat ini juga tidak harus menunggu kematian.
Secara positif Nibbana dapat diartikan sebagai Ke-Buddha-an karena mereka yang telah merealisasi Nibbana telah menjadi Buddha, dan istilah Buddha sebetulnya adalah gelar bagi mereka “Yang Sadar”. Pemahaman inilah yang kadang disalahartikan bahwa Buddha adalah Tuhan itu sendiri. Perlu diketahui Buddha tidak hanya Buddha Gotama.
Satu lagi konsep yang kadang disalahartikan sehubungan dengan agama Buddha di Indonesia, karena dihadapkan pada peraturan UU bahwa setiap agama harus memiliki kenyakinan terhadap Tuhan, maka dengan dipaksa-paksakan muncul istilah Sanghyang Adi Buddha yang digunakan untuk menyebut nama Tuhan dalam agama Buddha di Indonesia. Celakanya Sanghyang Adi Buddha banyak dipahami hanya secara literal sebagai Buddha Awal atau Buddha Pertama. Dalam aliran Vajrayana Adi Buddha merupakan aspek dari Vajradhatu sedangkan vajradhatu adalah DHARMA yaitu ajaran yang diajarkan oleh semua Buddha, tidak terbatas pada diri Buddha Gotama. (---tunggu ulasan Sanghyang Adi Buddha dalam artikel tersendiri)
Tulisan ini juga tidak ingin mengulas Ketuhanan dalam ajaran Buddha terlalu panjang lebar, karena pikiran dan batin penulis sendiri masih terbelenggu dalam kehidupan duniawi sehingga tulisan ini bukanlah sebuah hasil pencerahan tapi hanya sekedar pengetahuan biasa, maklum penulis masih mengidap “penyakit pertanyaan Malunkyaputta”.
Buddha sendiri tidak mau berkomentar banyak dan berspekulasi tentang ADA yang telah beliau realisasikan dalam Kesadaran Agung. Beliau hanya sekedar menuntun kita untuk bisa mencapai apa yang beliau capai, dan kita sendirilah yang akhirnya harus berjuang sendiri untuk merealisasi Nibbana atau Ke-Buddha-an dengan demikian dengan sendirinya kita akan paham terhadap ADA dan bagaimana alam semesta ini berproses bukan sebatas pengetahuan biasa (intelek) tapi sebuah pengalaman yang luar biasa.
Baca Juga : Mewujudkan Keyakinan kepada Tuhan
Komentar
Posting Komentar